"Turang dan Rekonstruksi Ingatan Kolektif"

Jember, 1 Mei 2025 – Sebuah forum diskusi dan pemutaran film bertajuk “Turang” Kembali ke Publik digelar di Balai RW Institut Jember, menyatukan akademisi, pengamat budaya, seniman, pejabat, hingga aktivis muda untuk membedah ulang makna sinema kiri dalam sejarah dan kondisi kontemporer. Pemutaran film Turang (1957) karya Baktiar Siagian, yang sempat hilang lebih dari lima dekade, menjadi pemantik perbincangan tajam soal sejarah ideologi, budaya perlawanan, dan urgensi rekonstruksi memori kolektif.
Acara ini merupakan hasil kerja sama antara Studi Ruang Tutur Nusantara dan Balai RW Institut, sebagai bagian dari inisiatif desentralisasi pemutaran film yang diprakarsai oleh kurator dan seniman Bunga Siagian. Turut hadir Wakil Bupati Jember, Joko Susanto, sebagai bentuk apresiasi pemerintah terhadap kebangkitan ruang budaya alternatif.
Dipandu oleh seniman media Edwin Roseno, diskusi menghadirkan dua pembicara utama: Deni Antyo, akademisi film, dan Wasis, pengamat sosial dan budaya.
Pemutaran yang Menantang Lupa
Dalam paparannya, Deni Antyo menekankan bahwa Turang adalah representasi dari realisme sosialis yang berpihak pada perjuangan rakyat dan kelas bawah, bukan pada heroisme militer seperti lazimnya film Orde Baru. “Seluruh narasi film ini menempatkan rakyat dan perempuan sebagai pelaku utama. Ini bukan hanya sinema, ini adalah posisi politik,” tegas Deni.
Sementara Wasis, pengamat sosial dan budaya, menekankan bahwa sinema tidak pernah netral—ia selalu berada dalam medan pertarungan ideologis. Baginya, Turang adalah bukti bahwa seni pernah menjadi alat perjuangan rakyat dan bagian dari proyek dekolonisasi yang berpihak pada rakyat kecil. Ia menyoroti bagaimana film ini dan sejarah organisasi seperti PKI dan Gerwani dihapus secara sistematis oleh rezim Orde Baru, bukan hanya karena ideologi, tetapi karena kekuatan politiknya yang menakutkan bagi penguasa. “Yang dihapus bukan hanya orang-orangnya, tapi juga memori dan semangatnya,” tegasnya.
Wasis mengajak generasi muda untuk tidak takut berbicara ideologi, karena hanya dengan mengenali akar sejarah dan perjuangan, kebudayaan bisa menjadi alat perubahan. Ia menyebut bahwa bentuk perlawanan hari ini bisa bermacam-macam—film, puisi, bahkan joget—selama punya kesadaran posisi. Ia menutup dengan peringatan bahwa ruang demokrasi bisa saja menyempit kembali, dan hanya dengan menjaga ruang-ruang diskusi seperti ini, sejarah rakyat bisa terus hidup dan diperjuangkan.
Bunga Siagian: Rekonstruksi Sejarah Lewat Sinema
Kurator film dan seniman, Bunga Siagian, menyampaikan dalam pengantar dalam bentuk video bahwa pemutaran ini adalah bagian dari strategi mobilisasi kultural yang terdesentralisasi untuk mengembalikan Turang ke ruang publik. Ia menegaskan bahwa film ini adalah bagian dari sejarah sinema dunia ketiga dan solidaritas anti-kolonial.
“Film Turang pernah dikirim ke Festival Film Asia-Afrika di Taskent tahun 1958. Ini membuktikan bahwa sinema Indonesia kala itu berada dalam jalur politik global yang menolak imperialisme,” ujar Bunga.
“Inisiatif ini bukan nostalgia, tapi langkah sadar untuk melawan dominasi narasi sinema arus utama dan membentuk kembali peta sejarah sinema yang adil.”
Bunga juga menjelaskan bahwa penemuan kembali Turang melibatkan jaringan kurator dari Moskow, Berlin, dan Taskent sejak 2022, dengan seluloid asli ditemukan di pusat arsip Gosfilmofond, Rusia.
Resonansi Kaum Muda dan Suara Ideologis
Diskusi menjadi hidup ketika peserta muda turut menyuarakan keresahannya. Setiawan, mantan seniman teater, menyampaikan bahwa meskipun dirinya telah lama meninggalkan panggung, film Turang membangkitkan rasa rindu akan bentuk seni yang tidak hanya estetis, tetapi juga ideologis. Ia menilai bahwa Turang adalah tamparan terhadap generasi saat ini—bahwa seni yang berpihak pada rakyat dan mengandung semangat perlawanan kini jarang ditemui di tengah dominasi budaya instan dan hiburan kosong. “Film ini bukan soal teknis. Ini tentang semangat dan keberpihakan,” ujarnya.
Sementara itu, Wisal, perwakilan dari komunitas film SKG, menyampaikan pemikiran segar tentang dekolonisasi dalam bentuk lokal. Ia menilai mudik sebagai bentuk dekolonisasi sosial, di mana orang kota membawa kembali pengetahuan ke desa, membalik arus kolonial klasik. “Kadang kita terlalu jauh mencari bentuk dekolonisasi, padahal praktik seperti mudik adalah bentuk paling nyata.”
Fadilah Ayu, mahasiswa muda, berbicara lantang mengenai kesenjangan antara wacana sejarah dan realitas generasi sekarang. Ia merasa bahwa keresahan terhadap sistem pendidikan, represi ruang sipil, dan krisis identitas kebudayaan tidak memiliki ruang representasi yang layak. “Film ini jadi ruang kami untuk merasa tidak sendiri,” katanya.
Peserta lain, Irwan Gilang, mempertanyakan demonisasi terhadap Lekra dan sejarah pelarangan film Turang. Ia menggugat: “Apakah lekra sebegitu mengerikannya sampai sejarah dan seni yang terafiliasi dengannya harus dimusnahkan?”
Kritik juga datang dari sejumlah peserta terhadap budaya populer saat ini. Mereka menyoroti dominasi konten kosong seperti joget TikTok tanpa makna sebagai bentuk kemunduran budaya. “Kalau dulu rakyat bersatu bisa melawan kolonialisme, sekarang kita bersatu hanya untuk konten,” ujar seorang peserta.
Di sisi lain, beberapa peserta juga mengapresiasi pemutaran ini sebagai ruang bersama lintas generasi yang sudah langka. Farhan Dimas dari SKG menekankan pentingnya mempertahankan ruang-ruang pemutaran film alternatif agar publik tidak hanya terpaku pada sinema komersial. Ia bahkan menyandingkan Turang dengan karya Akira Kurosawa secara sinematik. “Secara komposisi dan narasi, Turang punya kekuatan visual yang tidak kalah,” ujarnya.
Salah satu peserta perempuan juga menyoroti tokoh Tipi dalam film sebagai simbol resistensi perempuan. Ia menilai kehadiran tokoh perempuan di tengah perjuangan sebagai penanda penting bahwa narasi perjuangan tidak lagi milik laki-laki semata. “Tipi itu bukan hanya karakter, tapi simbol peran perempuan yang aktif dalam sejarah,” katanya.
Pranoto, pemerhati budaya, menegaskan perlunya membedakan antara realisme sosial dan realisme sosialis. Menurutnya, Turang berada di jalur yang lebih kontekstual dan tidak dogmatis. Ia juga menyoroti pentingnya dokumentasi sejarah dan penyelamatan arsip sebagai bagian dari perlawanan terhadap pelupaan sistematis oleh negara.
Penegasan dan Harapan
Forum ini menjadi ruang terbuka yang mempertemukan berbagai spektrum ideologis. Deni Antyo menyimpulkan, “Kalau dulu kita melawan lewat turun ke jalan, sekarang kita bisa melawan lewat film, puisi, atau status WhatsApp. Yang penting: kita resah, dan resah itu diluapkan.”
Moderator Edwin Roseno menutup forum dengan pernyataan menggugah:
“Yang bertahan duduk di sini lebih berarti dari ribuan orang yang datang hanya untuk selfie lalu pulang.”
Melalui pemutaran Turang dan diskusi lintas disiplin ini, lahirlah gagasan bahwa sinema bukan sekadar hiburan, tetapi alat rekonstruksi sejarah, alat melawan lupa, dan medium menyuarakan keresahan zaman.
Ditulis oleh: Tim Kantor Berita Budaya BALAI RW Institue