Ketika Amarah Membakar Warisan: Mengutuk Perusakan Fasilitas Publik dan Artefak Sejarah di Tengah Gelombang Demonstrasi



Gelombang demonstrasi yang melanda berbagai kota di Indonesia sejak 25 Agustus 2025 telah meninggalkan jejak luka yang dalam—bukan hanya pada tatanan sosial dan politik, tetapi juga pada warisan budaya dan fasilitas publik yang seharusnya dijaga bersama. Salah satu insiden paling memilukan terjadi di Kediri, Jawa Timur, di mana Museum Bagawanta Bhari, yang terletak di belakang Gedung DPRD, menjadi korban amuk massa.
Museum Dijarah, Artefak Hilang
Menurut laporan dari warga dan anggota komunitas Sigarda, beberapa artefak museum dijadikan alat lemparan ke arah Gedung DPRD saat demonstrasi berlangsung. Di antara benda bersejarah yang hilang adalah:
– Plakat HVA Sidomulyo (2 buah)
– Bata berinskripsi kuno
– Arca Sumbercangkring
Museum yang selama ini menjadi penjaga jejak sejarah Kediri, kini porak-poranda. Tindakan ini bukan hanya vandalisme, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai kebudayaan dan pendidikan publik.
Eskalasi Nasional: Dari Tuntutan Ekonomi ke Tragedi Demokrasi
Rentetan demonstrasi ini dipicu oleh kemarahan publik terhadap kebijakan tunjangan DPR yang dianggap berlebihan, dan memuncak setelah tewasnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang dilindas kendaraan taktis Brimob saat mengantar pesanan di tengah aksi di Jakarta. Tragedi ini memicu solidaritas luas dan aksi protes di berbagai kota seperti Bandung, Surabaya, Makassar, hingga Mataram.
Di Bandung, fasilitas umum seperti Museum Parlemen MPR RI, videotron, dan lampu lalu lintas rusak parah. Di Makassar, Gedung DPRD Sulsel dibakar, menewaskan tiga orang. Di Surabaya, bentrokan di Jalan Basuki Rahmat meninggalkan kerusakan pada taman dan bangunan publik.
Sebuah Pernyataan Sikap, Mengutuk Kekerasan, Menyerukan Perlindungan Warisan
Kemarahan publik adalah sah dalam demokrasi. Namun, ketika demonstrasi berubah menjadi perusakan, kita kehilangan arah. Warisan budaya bukan milik pemerintah—ia milik rakyat. Merusaknya adalah merusak diri sendiri.
Kami mengutuk keras tindakan pembakaran dan penjarahan fasilitas umum, terutama yang berdampak pada situs sejarah seperti Museum Bagawanta Bhari. Kami menyerukan:
– Pemulihan dan pengamanan museum dan artefak yang tersisa
– Investigasi menyeluruh terhadap pelaku perusakan
– Pendidikan publik tentang pentingnya menjaga warisan budaya
– Dialog terbuka antara pemerintah dan masyarakat sipil untuk meredakan ketegangan
Di tengah bara politik dan sosial, mari kita jaga api pengetahuan dan warisan. Museum bukan sekadar bangunan—ia adalah ruang ingatan, tempat kita belajar dari masa lalu untuk membentuk masa depan. Jangan biarkan amarah sesaat membakar warisan abadi.
Info terbaru, 31 Agustus 2025 pk 00.03: Bata berinskripsi sudah ditemukam dan diamankan
Sumber : WAG SIGARDA INDONESIA